Merupakan kelompok batu-batu besar yang sekarang sudah tidak beraturan lagi. Apabila diamati dengan seksama, masih terlihat adanya pola keteraturannya. Terletak pada jarak sekitar 200 m di sisi selatan Punden berundak Saunggalah, berada di tengah petak-petak sawah. Semula merupakan bukit kecil yang tertutup tanah, ketika tanahnya dibersihkan terdapat “gudang batu†tersebut, A.M.Sumawijaya menamakan Megalitik Kadoya dengan situs Jagaraksa. Fenomena arkeologis antara lain didapatkan suatu bentuk susunan batu temu gelang, yang posisinya sudah sangat terganggu, beberapa menhir besar dari batu pipih yang telah miring atau rebah. Salah satu menhir besar itu berukuran, tinggi tertinggi 1,96 m, dan lebar terlebar adalah 1,55 m. Pada bagian barat situs tersebut terdapat dua batu berdiri sejajar seakan-akan menjadi “pintu masuk†ke bagian dalam yang dipenuhi berbagai batu-batu besar. Peninggalan megalitik lainnya di wilayah Sindangbarang dan sekitarnya yaitu Punden Rucita, Punden Pasir Ater, Punden Pasir Karamat I, Punden Pasir Karamat II, Punden Batu Karut, Punden Batu kursi, Batu datar Patilasan Surya Kancana, diperkirakan ada 63 situs. Situs-situs megalitik itu sekarang ada yang terletak di tengah-tengah perkampungan penduduk, di tengah pesawahan, atau lahan yang dikeramatkan karena dianggap angker. Kronologinya kepurbakalaan Sindangbarang secara relatif, berdasar kehadiran Taman Sri Bagenda, dapat dihubungkan dengan istana kerajaan Sunda yang mempunyai 5 bangunan keratonnya (Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati). Bagian yang tersisa dari Taman Sri Bagenda keraton Sunda Kuna saat ini hanyalah mata air jernihnya (sumur Jalatunda) dan kolam yang sangat mungkin dahulu dilengkapi pula dengan bangunan bale kambangnya (terdapat dua batu besar di tengah kolam sebagai alas tiang bangunan). Taman Sri Bagenda dahulu tentunya indah dan asri, di lereng Gunung Salak, lahan taman dibuat bertingkat-tingkat (dinding teras-terasnya masih tersisa hingga sekarang). Mungkin dahulu terdapat jalan yang menghubungkan istana Pakuan Pajajaran yang terletak di sisi timur Sungai Ciomas dan kompleks Taman Sri Bagenda yang terletak di daerah barat sungai. Di taman itulah raja Sunda Kuna dan kerabatnya dahulu pergi menentramkan diri dan juga bermeditasi menghadap Hyang yang bersemayam di puncak Gunung Salak. Apabila naskah-naskah Jawa-Bali bertutur tentang Taman Bagenda sekitar abad ke-15-16, maka pada waktu itulah Taman Bagenda dikenal, tentunya dikenal juga di lingkungan budaya Sunda Kuna. Dapat diperkirakan bahwa Taman Sri Bagenda dahulu berfungsi dan berperanan pada sekitar era terakhir kerajaan Sunda (abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M). Punden berundak dan monumen batu-batu besar lainnya merupakan peralatan ritus yang dibangun sekitar masa yang sama, tujuannya untuk memuliakan Hyang juga. Mungkin sekali berbagai megalitik tersebut dibangun oleh masyarakat kerajaan Sunda Kuna yang bermukim di sekitar pusat kerajaan Sunda, jika Pakuwan Pajajaran terletak di Bogor, maka logis saja apabila lereng utara Gunung Salak yang dipenuhi oleh berbagai bentuk megalitik sebagai sarana pemujaan kepada Hyang. Ketika tentara Islam Banten menyerbu dan merebut pusat kerajaan Sunda (Pakuwan Pajajaran), dengan sendirinya Taman Sri Bagenda dan bermacam media pemujaan kepada Hyang di lereng utara Gunung Salak tersebut diabaikan hingga sekarang yang tertinggal hanya sisa-sisanya. Tafsiran sementara yang dapat dikemukakan adalah sangat mungkin kepurbakalaan yang berbentuk megalitik di wilayah Sindangbarang tersebut berasal dari fase terakhir kerajaan Sunda kuna, berarti berada dalam zaman sejarah, bukan dari periode prasejarah. Maka dari itu dapat pula dinyatakan bahwa pada masa akhir kerajaan Sunda kuna masih dikenal bentuk-bentuk tradisi megalitik, suatu ritus pemujaan kepada Hyang dan Karuhun yang medianya menggunakan monumen atau struktur batu yang dikerjakan secara sederhana. Adanya upacara serentaun yang senantiasa diadakan setiap tahun di wilayah Sindangbarang dapat meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap peninggalan kuno tersebut. Lokasi yang berdekatan dengan Kota Bogor, akan dapat membawa dampak positif bagi pemanfaatannya, misalnya untuk pariwisata. Adanya dilema yang selalu dihadapi oleh situs yang baru ditemukan, perlu dipublikasikan tetapi ada kekahwatiran jika masyarakat luas mengetahui akan datang berbondong-bondong dan berupaya memiliki artefak-artefak tertentu dari situs secara ilegal.
Destinasi lain di Kawasan Jawa Barat